Godaan Virus Politik Praktis Sangat Kuat
Banyaknya pengurus NU yang terlibat langsung dalam Pilkada memang menjadi dilema. Figur pengurus NU yang menonjol menjadi jaminan suara, namun jika kalah, tak hanya sang calon saja yang suram, nama NU pasti akan terbawa-bawa.
PUTUSAN Muktamar ke-32 yang lebih tegas patut untuk diterapkan secara tegas pula. Menurut KH. Hasyim Hosnan Thoha, SAg, Pengasuh Pondok Pesantren Nurus Salam Sumber Kemuning Tamanan Bondowoso, sepakat dengan hasil Muktamar tersebut.
“Karena orang Indoensia, tidak bisa membedakan antara pribadi dan jabatan yang melekat pada dirinya. Jadi walaupun yang besangkutan mengatasnamakan pribadi, padahal dirinya pengurus NU, maka orang mengganggap dia berangkat dari lembaganya”, kata Mas Hasyim.Kalau dibandingkan, lanjutnya, antara sisi manfaat dan modaratnya lebih banyak sisi modaratnya. Realita yang terjadi saat ini, perjuangan NU mengalami degradasi sejak pengurusnya atau orang membawa-bawa NU untuk maju sebagai kandidat dalam Pilkada.
“Kalau jago NU menang, maka perjuangan NU di daerah tersebut cukup progresip, tapi kalau jago NU kalah sudah dapat dipastikan, langkah NU mengalami hambatan. Sehingga perjuangan NU parsial di tempat tertentu saja”, kata mantan Ketua Komisi IV DPRD Bondowoso pada HARIAN BANGSA.NU, lanjutnya, adalah Organisasi Keagamaan yang tugas utamanya mengayomi seluruh masyarakat dari tingkat alit (kecil) hingga kaum elit. Oleh karena itu sesuatu hal yang mustahil, kalau NU, di daerah tertentu menjadi mitra pemerintah dan di tempat yang lain menjadi oposan.
“Diakui atau tidak, sekarang peran NU sebagai Ormas Keagamaan sudah mulai bergeser. Ini akibat dari virus politik yang menjangkiti Pengurus NU atau orang yang mengaku mendapat dukungan dari NU maju sebagai kandidat dalam Pilkada”, kata menantu alm. KH. Abd. Wahid, SH iniUntuk mengembalikan NU ke hittahnya, kata Mas Hasyim, maka rekomendasi Muktamar NU di Makasar, agar Pengurus NU yang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam Pilbup atau Pilwali harus mengundurkan diri saya sangat setuju sekali. Ini untuk menjaga indepedensi NU.
Katib Syuriyah PCNU Bondowoso KH Moh Anwar Syafi’i mengatakan, Muktamar NU menyepakati, pengurus NU yang mau mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah harus berhenti dari pengurus NU, ya harus didukung.“Tapi seingat saya, bukan harus berhenti dari Pengurus NU. Tapi yang bersangkutan harus non-aktif diri sebagai pengurus NU. Apabila terpilih, dia harus berhenti, tapi apabila tidak terpilih, boleh kembali menjadi pengurus NU,” kata alumni Pondok Pesantren Sidogiri ini.
“Ada cerita menarik ketika PCNU melakukan turba ke MWC Kota. Salah satu pengurusnya menyampaikan, ada warga kota yang amaliahnya NU, tapi ketika akan diajak menjadi pengurus NU menolak. Dengan alasan khawatir dibawa ke politik praktis,” tambah kiai Anwar.Harusnya, kata Kiai Anwar, hubungan NU dengan politik seperti koki di dapur dengan pecari ikan. ”Tugas koki memasak di dapur plus lauk dan ikan. Sedangkan pemancing bertugas mencari ikan sesuai pesanan koki. Jadi tukang koki tidak boleh mengerjakan tugas pemancing begitu juga sebaliknya,” kata kiai Anwar.
KH. Abd. Qadir Syam menyatakan tidak setuju dengan rekomendasi Muktamar. Putusan mundur mengganggu hak privasi seorang ketua atau kader NU untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Cermee ini menambahkan, sekarang ini sudah masanya santri yang notabene cikal bakal lahirnya kader NU untuk ambil bagian.”Kalau Bupati atau Walikota kan bukan jabatan struktural NU atau Parpol. Apa salahnya, kalau ada kader NU yang menjadi Pengurus NU atau Pengurus Parpol dipercaya oleh masyarakat menjadi Bupati atau Walikota, kan tidak salah. Dan saya fikir tidak harus berhenti menjadi pengurus”, jelasnya. (sam/habis)