Kitab Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin pengarang Darmagandul memaparkan hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh Kitab Darmagandul boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.
Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6] Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.
Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6] Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.
Bahkan, jika menilik salah satu kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan bahwa telah banyak bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam dan tetap mengabdi kepada pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga nampak di sana. Denys Lombard mengungkapkan bahwa di Jawa Timur terdapat salah satu prasasti Arab tertua, yaitu parasasti Leran dari abad ke-11, ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di situs ibu kota lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto sekarang, di pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya, L.-Ch. Damais telah menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada beberapa yang memuat teks suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi nama orang yang dikubur tidak pernah disebut (kecuali satu kali). Kalau disebut,perhitungannya menurut tarikh saka, kecuali satu kali menrut tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14 (1368, 1376, dan 1380 M) dan delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475), tetapi mungkin saja ada prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di salah satu pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas disebut secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah Islam bukan hanya berkembang dikalangan rakyat jelata namun telah merambah kepada kalangan bangsawan Istana Majapahit. Sementara itu kerukunan antar agama terjadi pada masa itu.
Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, sebagaiannya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[9] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.
Masa keemasan Majapahit digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan. Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan kepemimpinan generasi selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada keahlian. Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang merupakan faktor penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah Mada, kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga menyebabkan melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu bagiannya.
Pada masa Patih Gajah Mada hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir berhasil menguasai seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya pada masa sebelumnya pun dianggap belum dapat melakukan proses penguasaan wilayah seluas itu.[10] Kejayaan Majapahit tersebut dibangun melalui peperangan dan penakhlukan atas wilayah yang melampaui pulau Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang bersifat demikian sudah tentu memiliki sejumlah konsekuensi turunan. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat mandiri. Hal ini berarti kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan dirinya sebagai negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah sebuah wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah. Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi negara takhlukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain, negara-negara taklukan tersebut yang menganggap Majapahit sebagai penjajah.
Babad Soengenep, misalnya, buku yang menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di Madura ini, dengan jelas memaparkan kebencian masyarakat Soengenep terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Kudapanole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.[11] Walaupun buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun semangat dari buku tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat. Spirit yang digambarkan oleh babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang kuat terhadap penjajahan dari negara lain. Sifat khas dari bangsa yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian juga cerita-cerita tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah di Sumatra yang menimbulkan kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran umumya hanya ditanggapi sebagai dongeng belaka.[12] Termasuk kisah tentang pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13] Juga cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari secara “biasa saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.[14] Namun yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal Gajah Mada menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi namun justru berakhir dengan peperangan dengan kematian sang Maharaja Pajajaran. Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian umumnya hanya disikapi secara ‘dingin’ oleh para sejarawan.
H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat penyebab lain dari keruntuhan Majapahit adalah tidak loyalnya para pelaku ekonomi terhadap pemerintahan Majapahit. Dikatakan bahwa mata pencaharian utama rakyat Majapahit adalah bertani. Kaum petani ini umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap Majapahit. Namun demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerinthan Majapahit. Golongan lain diluar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar. Golongan tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan perekonomian, namun justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit. Sejak awal mereka telah merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan Majapahit. Perceraian kedua golongan inilah, yaitu petani dan kaum saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai salah satu penyebab kerutuhan Majapahit pada masa selanjutnya.
Masa keemasan Majapahit digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan. Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan kepemimpinan generasi selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada keahlian. Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang merupakan faktor penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah Mada, kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga menyebabkan melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu bagiannya.
Pada masa Patih Gajah Mada hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir berhasil menguasai seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya pada masa sebelumnya pun dianggap belum dapat melakukan proses penguasaan wilayah seluas itu.[10] Kejayaan Majapahit tersebut dibangun melalui peperangan dan penakhlukan atas wilayah yang melampaui pulau Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang bersifat demikian sudah tentu memiliki sejumlah konsekuensi turunan. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat mandiri. Hal ini berarti kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan dirinya sebagai negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah sebuah wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah. Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi negara takhlukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain, negara-negara taklukan tersebut yang menganggap Majapahit sebagai penjajah.
Babad Soengenep, misalnya, buku yang menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di Madura ini, dengan jelas memaparkan kebencian masyarakat Soengenep terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Kudapanole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.[11] Walaupun buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun semangat dari buku tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat. Spirit yang digambarkan oleh babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang kuat terhadap penjajahan dari negara lain. Sifat khas dari bangsa yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian juga cerita-cerita tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah di Sumatra yang menimbulkan kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran umumya hanya ditanggapi sebagai dongeng belaka.[12] Termasuk kisah tentang pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13] Juga cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari secara “biasa saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.[14] Namun yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal Gajah Mada menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi namun justru berakhir dengan peperangan dengan kematian sang Maharaja Pajajaran. Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian umumnya hanya disikapi secara ‘dingin’ oleh para sejarawan.
H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat penyebab lain dari keruntuhan Majapahit adalah tidak loyalnya para pelaku ekonomi terhadap pemerintahan Majapahit. Dikatakan bahwa mata pencaharian utama rakyat Majapahit adalah bertani. Kaum petani ini umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap Majapahit. Namun demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerinthan Majapahit. Golongan lain diluar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar. Golongan tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan perekonomian, namun justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit. Sejak awal mereka telah merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan Majapahit. Perceraian kedua golongan inilah, yaitu petani dan kaum saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai salah satu penyebab kerutuhan Majapahit pada masa selanjutnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dukungan terhadap pemerintahan Kerajaan hanya ditopang oleh kesetiaan kaum petani. Loyalitas masyarakat petani inipun umumnya bukan didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang hakikat pemerintahan kerajaan. Sedangkan kaum pedagang dan orang-orang kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian justru berada pada pihak yang tidak loyal. Apalagi pasca rakyat kecil yang terdiri dari para petani ini, pada masa selanjutnya justru banyak diantara mereka yang menganut agama Islam, maka kekuatan pendukung Majapahit tersebut semakin berkurang dan wibawa kerajaan semakin menurun drastis.
Dr. W. B. Sidjabat memiliki analisa lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor penyebab tersebut anatara lain adalah sering terjadinya banjir besar di sungai Berantas, salah satu sungai yang memiliki posisi strategis bagi pelayaran dan ekonomi Majapahit. Hal ini mengakibatkan perniagaan-perniagaan di Sungai Berantas terus berkurang. Lebih-lebih pasca meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi dangkal akibat aliran lahar dan muaranya maju ke laut sehingga mengakibatkan pelayaran di Canggu berhenti sama sekali. Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan turut memperlemah semua potensi Majapahit.[16]
Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[17]
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.
Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[18] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan Kitab Darmagandul bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
Lantas mengapa sejarah negeri ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait dengan keruntuhan Majapahit buku-buku pelajaran sejarah seringkali mengulang-ulang bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah serangan dari Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut biasanya hanya dikemukakan begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas mengapa Demak harus menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya Demak dianggap sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.
Dr. W. B. Sidjabat memiliki analisa lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor penyebab tersebut anatara lain adalah sering terjadinya banjir besar di sungai Berantas, salah satu sungai yang memiliki posisi strategis bagi pelayaran dan ekonomi Majapahit. Hal ini mengakibatkan perniagaan-perniagaan di Sungai Berantas terus berkurang. Lebih-lebih pasca meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi dangkal akibat aliran lahar dan muaranya maju ke laut sehingga mengakibatkan pelayaran di Canggu berhenti sama sekali. Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan turut memperlemah semua potensi Majapahit.[16]
Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[17]
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.
Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[18] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan Kitab Darmagandul bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
Lantas mengapa sejarah negeri ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait dengan keruntuhan Majapahit buku-buku pelajaran sejarah seringkali mengulang-ulang bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah serangan dari Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut biasanya hanya dikemukakan begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas mengapa Demak harus menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya Demak dianggap sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.
Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” menolak anggapan bahwa pihak yang telah menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom serangan yang dianggap menewaskan Prabu Brawijaya V tersebut dilakukan oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam keraton yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri.[20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.
Teori penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama Girindrawardhana.
Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik gathuk seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas siapakah Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit. Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22] Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.
Pasca perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunkan gelar Parbu Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.[23] Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24] Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25] Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.
Teori penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama Girindrawardhana.
Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik gathuk seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas siapakah Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit. Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22] Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.
Pasca perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunkan gelar Parbu Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.[23] Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24] Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25] Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada pun yang lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26] Motifnya, jelas upaya untuk mempertahankan kehormatan Islam dan mengambil kembali tahta Majapahit yang merupakan hak sepenuhnya dari sultan Demak. Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah tidak terbukti. Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab keruntuhan Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa dierangkan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebabnya yang melatarbelakanginya maka hal ini jelas merupakan paparan yang tidak netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang urgen. Dengan kata lain jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.[27] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana.
Pengarang babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28] Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam. Sedangkan Kitab Darmagandul adalah salah satu ujung tombak bagi kepentingan tersebut.
[1] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
[2] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
[4] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 48
[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
[8] Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
[10] Alwi Shihab. Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22
[11] Es Danar Pangeran. Menggali Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15
[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139 -140
[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19
[14] Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters, Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368
[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari Panggung....Ibid. Hal. 365-366
[16] Lihat artikel Dr. W. B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 - 21
[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[19] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 46-47
[20] Umar Hasyim. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus, 1979). Hal. 88 - 89
[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 107
[22] Sholichin Salam. Sekitar Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13
[23] MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan penyerangan Demak (dipimpin Adipati Yunus) ke Majapahit (masa Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan terhadap Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal. 451
[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 108
[25] Sholichin Salam. Sekitar … Opcit. Hal. 13
[26] Sholichin Salam. Sekitar ... Ibid. Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun 1518, menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. ... Hal. 449
[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr. Rasjidi. Faham Tentang Islam ...Opcit. Hal. 15
[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89
Awalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.[27] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana.
Pengarang babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28] Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam. Sedangkan Kitab Darmagandul adalah salah satu ujung tombak bagi kepentingan tersebut.
[1] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
[2] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
[4] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 48
[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
[8] Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
[10] Alwi Shihab. Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22
[11] Es Danar Pangeran. Menggali Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15
[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139 -140
[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19
[14] Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters, Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368
[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari Panggung....Ibid. Hal. 365-366
[16] Lihat artikel Dr. W. B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 - 21
[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[19] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi ... Opcit. Hal. 46-47
[20] Umar Hasyim. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus, 1979). Hal. 88 - 89
[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 107
[22] Sholichin Salam. Sekitar Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13
[23] MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan penyerangan Demak (dipimpin Adipati Yunus) ke Majapahit (masa Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan terhadap Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal. 451
[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya ... Opcit. Hal. 108
[25] Sholichin Salam. Sekitar … Opcit. Hal. 13
[26] Sholichin Salam. Sekitar ... Ibid. Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun 1518, menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. ... Hal. 449
[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr. Rasjidi. Faham Tentang Islam ...Opcit. Hal. 15
[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89