KECERDASAN BERTAUHID
Penulis: Fakhruddin al Farazi
Penerbit: Zaman, Jakarta, 2011
Tebal: 249 halaman
Tuhan. Sebuah esensi yang terus dicari. Jauh di rentang sejarah purba, manusia bahkan sudah mulai mencari-cari sosok Tuhan. Meski harus berpayah-payah dalam kegagalan. Karena mereka “menemukan” kekuatan maha penggerak atau creator agung itu (Causa Prima) pada benda berhala (oleh penganut paganisme), pada roh (animisme) dan kepada setiap yang bergerak (seperti penganut dinamisme).
Namun kini, semua tradisi ber-Tuhan yang arketip itu terperosok jatuh. Melulu sebagai dekorasi antropologi dan sengaja dipelihara sebagai “cagar budaya”. Cara-cara bertuhan ala totemisme (kaum pagan, animisme-dinamisme), nyaris tak bersisa.
Surutnya perilaku ber-Tuhan era silam itu bukan karena ketiadaan fungsi —karena Tuhan kaum “barbar” sekalipun kerap dijadikan sumber ritual dan budaya, bagian dari kehidupan suku. Melainkan, Tuhan sesembahan mereka itu tak memberikan informasi apapun. Tidak memperkenalkan diri. Bisu dan wagu.
Fajar pencerahan kemudian menyembul. Seiring lahirnya “agama-agama langit”. Sisi kuat dari ajaran agama samawi itu adalah adanya wahyu yang memperkenalkan tentang siapa Tuhan! Sekaligus menjawab aneka pertanyaan manusia —yang tak pernah berhenti— tentang wujud Tuhan. Keterangan eksistensi tentang Yang Maha Kuasa itupun menjadi sangat jelas.
Alur sejarah seperti inilah yang bisa kita tatap. Tatkala membincang eksistensi Tuhan, dalam kurun perjalanan manusia. Bahwa sejatinya, naluri dasar manusia atau fitrah manusia adalah mengakui adanya Tuhan. Paling tidak, manusia sepanjang perjalanan zaman, selalu harus “tunduk kepada sesuatu yang dianggap menjadi sumber kekuatan” dan layak untuk disembah. Kini malah lahir aneka riset ilmiah dan eksperimen akademik, tentang adanya Titik Tuhan (God Spot, Lobus Temporal) di wilayah otak manusia. Ikhtiar para ilmuan itu, yang kian berkibar dengan hadirnya buku Denah Johar dan Ian Marshall, tentang Kecerdasan Spiritual, makin mengokohkan fitrah manusia untuk mengenal Tuhannya.
Begitulah ketika Nabi Muhammad memulai dakwahnya dengan berpegang kepada Al Qur’an sebagai sumber rujukan. Nabi tidak mempermasalhakan tentang “ada atau tidak” adanya Allah SWT karena orang kafir sekalipun mengakui adanya Allah. Sekedar catatan, meskipun sejarah mengenal gejala atheisme atau agnostikisme, itu hanyalah klaim-klaim temporal semata, tak pernah benar-benar menjadi kekuatan budaya. Pertama-tama, Nabi mengibarkan pesan-pesan ke-Tauhid-an (teologi). Bahwa Allah itu esa. Hanya Allahlah yang layak disembah. Fakta inilah yang menjadi bahasan rinci dalam buku ini. Sebuah pustaka baru yang diterbitkan Penerbit Zaman, karya dari FAkhruddin al Razi, berjudl Kecerdasan Bertauhid.
Meski dengan teknik penulisan yang melelahkan bagi pembaca, toh, buku ini menghadirkan rantai argumentasi yang detil, seputar hakikat iman dan tauhid. Serta membeber makna, pesona, serta dampak dari tauhid yang kita anut. Bahkan ada bagian khusus yang mengulik seputar tingkatan keimanan kita serta metode perbaikannya.
Tauhid Sebagai Pokok
Iman dalam Islam bukan dogma mati dan dipaksakan. Melainkan lengkap dengan argumentasi, pemaparan bukti, dan pesan-pesan suci. Iman, dalam hal ini, tak semata-mata “pembenaran”. Karena ada aspek nalar, peluang kepada kritisme otak, dan memungkinkan lahirnya tafsir dan makna —tentang Iman.
Di bagian awal buku ini, bahasan tentang tauhid dimulai dari ayat Al Quran yang berbunyi: Ketahuilah, bahwa tiada tuhan selain Allah… (Surat Muhammad, Ayat 19). Lalu berlanjut kepada firman Allah yang pertama turun, yang berbunyi: Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang mencipta (Surat Al Alaq, Ayat 1-2). Kutipan dua ayat ini demi memastikan satu pesan bahwa, hal yang pertama-tama diketahui oleh kita adalah tauhid, tentang siapa dan seperti apa kekuasaan Allah SWT.
Menurut buku, bertauhid itu adalah pokok, atau dasar, atau ushul. (mengesakan Allah, menegasikan yang lain). Perkara bagaimana cara beribadah, itu adalah bagian cabang (furuiyah). Lagipula, bertauhid itu juga menjadi penegas atas ketidakberdayaan kita dihadapan ke-Maha Kuasa-an Allah. Namun, keutamaan bertauhid ini tak boleh hanya berdasarkan pada taqlid (kepatuhan) buta. Melainkan harus dengan ilmu, sebagai metode untuk mengungkapkan makrifat (pengetahuan hakiki) tentan Allah. Sekaligus untuk mampu mendeteksi bukti-bukti kekuasaan Allah.
Terdapat paparan argumentasi yang sangat panjang, demi menguji tesis buku ini, bahwa pusat keutamaan, kemuliaan hakiki, dan keistimewaan tauhid, bisa ditelaah dengan ilmu. Artinya, di sini nalar menjadi faktor yang dibutuhkan (necessary condition), meski bukan satu-satunya penentu keberimanan kita. Termasuk sejumlah contoh penting, misalnya tentang Nabi Ibrahim yang meminta kepada Allah untuk diberikan hikmah (pengetahuan) tentang bukti-bukti Allah. Juga kisah Nabi Musa, Isa, dan juga dakwah Rosululloh seputar tema tauhid.
Rantai Panjang
Karena keimanan tak hanya berada dalam hati, tetapi juga dalam lisan, maka bentuk faktual ketauhidan kita adalah dengan mengucap la illahailallah. Karena sumber pokoknya adalah keutamaan sejati (yaitu ketauhidan), maka tak aneh jika kemudian lafaz la illahaillah juga menempati posisi istimewa. Menurut buku ini, sedikitnya ada Sembilan keutamaan dari lafadz yang menegaskan ketauhidan itu (la illahaillallah). Antara lain: semua amal ibadah dan bukti ketaatan kita dibawa naik oleh malaikat ke langit, sementara “dzikir tauhid” naik tanpa perantara (lihat halaman 70). Atau, semua praktek amaliah akan berakhir di dunia, sementara dzikir kita masih terus berlangsung, hingga di akhirat nanti.
Berikutnya, buku ini berisi tentang rahasia dari kalimat la Illahailallah… (sebagai ucapan ke-tauhid-an kita).
Menurut penulis buku ini, kalimat tauhid yang sering kita ucapkan itu, juga menyimpan banyak rahasia. Diantaranya sebagai kalimat keadilan, kalimat kebenaran, dan kalimat keselamatan. Selengkapnya, buku ini menelisik satu persatu rahasia itu, yang jumlahnya mencapai 24 macam. Salah satu yang menarik dari bahasan bagian rahasia kalimat tauhid itu adalah tentang ucapan la illahailallah sebagai amal hati, dan membedakan dengan amalan-amalan lainnya. Di sini fakto keikhlasan yang berperan —karena ketika orang berdzikir dalam hati, ia tak mungkin riya (halaman 93).
Bagian lain dari buku ini, yang tak kalah penting, adalah tentang: (1) Perumpamaan kalimat tauhid; (2) Lebih dalam dengan kalimat tauhid; (3) Keistimewaan orang beriman; dan (4) Fiqh tauhid. Sisanya, mengurai tentang renungan atas pentingnya sahadat serta batasan akal dalam memahami tauhid. Sayangnya, buku yang sangat terperinci ini dikemas dalam sajian yang membosankan dan membuat lelah pembaca. Akan lebih nyaman jika saja setting atau lay out buku dibuat atraktif —dengan memisah-misahkan tiap susunan argumentasi dengan perwajahan yang berbeda. Bukan dalam bentuk kaku sebagaimana yang ada di buku ini.