JAKARTA, KOMPAS.com — Koalisi Pemantau Peradilan
(KPP) yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi), dan Transparancy International
Indonesia (TII) mendesak DPR untuk mematuhi keputusan Mahkamah
Konstitusi No 5/PUU-IX/2011 terkait proses pemilihan calon ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Sikap kontroversial semacam ini merupakan bencana terhadap penegakan hukum dan prinsip ketatanegaraan Indonesia.
-- Jamil Mubarok
Juru Bicara KPP, Jamil Mubarok, menilai, jika DPR tetap
teguh menolak delapan nama calon pimpinan KPK yang sudah diberikan
pemerintah, hal itu sama saja dengan pembangkangan terhadap keputusan
MK.
"Kami berharap pembakangan terhadap produk pengadilan yang
bersifat final, seperti putusan MK, tidak dilakukan oleh kelembagaan
DPR, Komisi III DPR, fraksi atau partai politik. Sikap kontroversial
semacam ini merupakan bencana terhadap penegakan hukum dan prinsip
ketatanegaraan Indonesia," tutur Mubarok saat melakukan konferensi pers
di Kantor TII, Jakarta, Kamis (8/9/2011).
Rencana pengembalian
kedelapan nama capim KPK tersebut terjadi karena dalam rapat pleno
internal, Komisi III meminta 10 nama calon pimpinan KPK untuk menjalani
proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III. Faktanya, pemerintah hanya memberikan delapan nama kepada Komisi III.
Menurut
Mubarok, sejauh ini ada dua argumentasi yang diajukan sebagian anggota
DPR untuk menolak delapan nama tersebut. Pertama, para politisi DPR
beranggapan Pasal 30 Ayat (10) Undang-Undang KPK yang menyatakan bahwa
DPR wajib menetapkan dan memilih lima calon yang dibutuhkan jika
dihubungkan dengan Ayat (9), maka artinya Presiden harus mengajukan dua
kali lima, yaitu 10 calon.
Selain itu, politisi DPR juga menilai
putusan MK tidak bersifat retroaktif sehingga tidak berlaku kepada Ketua
KPK Busyro Muqoddas yang sudah diangkat Presiden sejak 10 Desember
2010. Padahal, keputusan MK baru berlaku sejak 16 Juni 2011.
"Argumentasi
itu justru sudah runtuh sejak MK menyatakan secara tegas tafsir pasal
yang sangat strategis tentang masa jabatan Busyro, seperti diatur di
Pasal 34 UU KPK, sehingga tafsir tersebut mempengaruhi dan mengoreksi
semua pasal lainnya di UU KPK yang terkait masa jabatan ini," tutur
Mubarok.
Mubarok menambahkan, mengingat putusan MK tersebut
bersifat final dan bisa membatalkan, mengoreksi, dan memberikan tafsir
sesuai UU, alasan DPR yang berdasarkan pada Pasal 30 Ayat (10) UU KPK
sudah gugur dengan sendirinya. Oleh karena itu, karena saat ini yang
dibutuhkan adalah empat kursi, Presiden harus mengajukan delapan, bukan
10 nama capim KPK.