Penyebab kemunduran umat Islam di Andalusia bukan karena kehebatan dan kekuatan tentara Salib, melainkan karena pertikaian internal.
Setahun kemudian, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Hanya dalam waktu dua tahun, seluruh daratan Spanyol dikuasai. Mereka berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghalangi mereka. Namun niat itu tidak tereaslisasi, karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus.
Thariq pulang terlebih dahulu, sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah SWT tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan mengembuskan napas terakhirnya. Berikut kisah selanjutnya.
Enam Periode
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya Kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode.
Periode pertama berlangsung sekitar tahun 711-755 M. Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Saat itu, stabilitas sosial politik dan ekonomi Andalusia belum sempurna tapi relatif aman dan tetap berkembang. Gangguan dan ancaman terhadap proses pembangunan negeri masih datang silih-berganti, baik dari luar maupun dari dalam. Pada tahap ini pula, peradaban dan kebudayaan Islam belum mencapai puncaknya, kecuali setelah datangnya Abdurrahman Al-Dakhil pada tahun 138 H/755 M.
Periode kedua berlangsung sekitar tahun 755-912 M. Andalusia pada periode ini dipimpin oleh seorang wali (gubernur) yang menyatakan diri tidak tunduk kepada pemerintahan pusat yang berada di Baghdad. Orang pertama yang memimpin Andalusia, dalam Kerajaan Cordoba yang berdaulat dan berdiri sendiri, adalah Abdurrahman Al-Dakhil.
Thariq pulang terlebih dahulu, sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah SWT tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan mengembuskan napas terakhirnya. Berikut kisah selanjutnya.
Enam Periode
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya Kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode.
Periode pertama berlangsung sekitar tahun 711-755 M. Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Saat itu, stabilitas sosial politik dan ekonomi Andalusia belum sempurna tapi relatif aman dan tetap berkembang. Gangguan dan ancaman terhadap proses pembangunan negeri masih datang silih-berganti, baik dari luar maupun dari dalam. Pada tahap ini pula, peradaban dan kebudayaan Islam belum mencapai puncaknya, kecuali setelah datangnya Abdurrahman Al-Dakhil pada tahun 138 H/755 M.
Periode kedua berlangsung sekitar tahun 755-912 M. Andalusia pada periode ini dipimpin oleh seorang wali (gubernur) yang menyatakan diri tidak tunduk kepada pemerintahan pusat yang berada di Baghdad. Orang pertama yang memimpin Andalusia, dalam Kerajaan Cordoba yang berdaulat dan berdiri sendiri, adalah Abdurrahman Al-Dakhil.
Amir Kerajaan Cordoba berturut-turut adalah Abdurrahman I (756-788), Hisyam I (788-796), Al-Hakam I (796-822), Abdurrahman II (822-852), Muhammad I (852-886), Al-Mundhir (886-888), Abdullah ibn Muhammad (888-912).
Pada masa ini, umat Islam mulai mengalami kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Maka peradaban Islam pun mulai tumbuh dan berkembang. Abdurrahman Al-Dakhil segera membangun Masjid Cordova dan sekolah-sekolah di berbagai kota besar di Spanyol.
Hikam I berjasa dalam membangun dan menegakkan hukum dan perundang-undangan, Hakam I dikenal sebagai reformis dan pembaharu. Kemudian Abdurrahman Al-Aushat dikenal sebagai ilmuan dan filosof. Ilmu pengetahuan dan seni budaya pada masa ini sudah mulai semarak berkembang dan menuju pada kemajuan.
Pada periode ketiga, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun sosial budaya. Periode ini berlangsung sekitar tahun 912-1013 M, yang diawali dengan kepemimpinan Abdurrahman III dan diakhiri dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, yang disebut Muluk Ath-Thawaif.
Semenjak kekuasaan Abdurrahman III di tahun 929, sebutan penguasa amir diganti dengan sebutan khalifah: Abdurrahman III (912-961), Al-Hakam II (961-976), Hisyam I (976-1008), Muhammad II (1008-1009), Sulaiman II (1009-1010), Hisyam II (1010-1012), Sulaiman II (1012-1016), Abdurrahman IV (1017), Abdurrahman V (1023-1024), Muhammad III (1024-1025), Hisyam III (1026-1013).
Peradaban Islam di Eropa semakin tampak bersinar. Abdurrahman III segera mendirikan pusat berkembangnya ilmu pengetahuan, yakni Universitas Cordova. Perpustakaan yang terdapat di Universitas itu memiliki ribuan buku yang memuat berbagai ilmu pengetahuan. Apalagi setelah Hakam II memimpin Andalusia, umat Islam semakin merasakan betapa pesatnya ilmu pengetahuan berkembang, yang pada saatnya menghantarkan dan membentuk suatu peradaban Islam yang sempurna dan berkualitas tinggi.
Periode keempat berlangsung sekitar tahun 1013-1086 M. Pada tahap ini Andalusia, sebagai kerajaan yang berdaulat utuh, mengalami disintegrasi. Kota-kota besar di wilayah Andalusia merasa kuat dan mampu mendirikan kerajaan sendiri. Periode ini merupakan awal kehancuran umat Islam di Andalusia, sebab mereka saling bertengkar dan berperang sesama muslim untuk memperebutkan wilayah kekuasaan.
Pertikaian intern itu tentu saja terbaca oleh kaum Nasrani sebagai kelemahan bagi umat Islam. Mereka berusaha menyusun kekuatan untuk segera dapat menghancurkan umat Islam. Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas intelektual pada masa ini masih tetap berjalan, meskipun tidak sehebat masa-masa sebelumnya.
Periode kelima berlangsung sekitar tahun 1086-1248 M, yang dipimpin oleh dua dinasti yang menonjol ketika itu, yaitu Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahidun (1146-1253 M). Kedua dinasti ini sebenarnya berasal dari Afrika Utara, yang datang ke Andalusia atas undangan raja-raja Islam untuk membantu melawan serangan kaum Katolik Barat. Untuk beberapa dekade, serangan dan pertahanan kedua dinast itu cukup kuat, sehingga Islam masih tetap berkibar untuk sementara di tanah Spanyol. Namun akhirnya, kaum Katolik dengan pasukannya yang besar dan kuat dapat menghancurkan mereka, yang memaksa kedua pemimpin dinasti itu pindah kembali ke Afrika.
Kaum Katolik sejak tahun 1212 mengalami kemenangan yang luar biasa, sehingga kota-kota besar Islam satu per satu jatuh ke tangan mereka. Kota Cordova jatuh ke tangan penguasa Katolik pada tahun 1238 M. Sepuluh tahun kemudian, 1248 M, menyusul kota Seville. Bahkan seluruh wilayah Andalusia jatuh ke tangan Katolik, kecuali Granada, yang masih dikuasai Bani Ahmar.
Kaum Katolik sejak tahun 1212 mengalami kemenangan yang luar biasa, sehingga kota-kota besar Islam satu per satu jatuh ke tangan mereka. Kota Cordova jatuh ke tangan penguasa Katolik pada tahun 1238 M. Sepuluh tahun kemudian, 1248 M, menyusul kota Seville. Bahkan seluruh wilayah Andalusia jatuh ke tangan Katolik, kecuali Granada, yang masih dikuasai Bani Ahmar.
Periode keenam berlangsung sekitar tahun 1248-1492 M, yang sebenarnya merupakan akhir dari kekuasaan Islam di tanah Spanyol. Namun demikian di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1252-1492 M) peradaban Islam mulai mengalami kemajuan yang cukup berarti. Tapi kejayaan Islam itu tidak bertahan lama, akibat konflik intern yang terjadi di kalangan istana.
Pangeran Abu Abdullah Muhammad tidak setuju atas keputusan ayahnya yang mengangkat adiknya sebagai putra mahkota. Ia melakukan perlawanan dengan meminta bantuan pasukan Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkan kekuasaan sang ayah, akhirnya ayahnya terbunuh dan adiknya naik takhta menjadi raja. Perlawanan terus dilakukan, dan adiknya pun terbunuh juga. Akhirnya ia pun naik takhta, tapi segera dirongrong oleh penguasa Kristen yang pernah membantunya. Tak lama menduduki kerajaan, akhirnya Abu Abdullah Muhammad digulingkan oleh kedua penguasa Kristen, Ferdinand dan Isabella, pada tahun 1492 M. Maka sejak itulah, kejayaan umat Islam seakan lenyap dari bumi Andalusia.
Setelah itu umat Islam dihadapkan pada dua pilihan: masuk Kristen, atau pergi meninggalkan Spanyol. Umat Islam pun terusir dengan pedihnya dari bumi Andalusia. Hanya yang mau murtad yang boleh tinggal. Sedang yang tetap beriman kepada Allah, bersama Raja Abu Muhammad, naik ke kapal dan berlayar menuju Afrika Utara, menyeberangi Selat Gibraltar.
Tanggal 2 Januari 1492 itu tercatat sebagai pemurtadan besar-besaran yang pernah terjadi dalam sejarah. Baik Cordova maupun Granada hancur lebur bersama kitab-kitabnya berikut peradabannya. Tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
Akibat Pertikaian Internal
Mengenai jatuhnya Granada, yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan, M. Hashem dalam bukunya, Kekaguman Dunia terhadap Islam, menukil komentar ilmuwan Emmanuel Deutch, “Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan air mata manakala kami teringat saat-saat terakhir jatuhnya Granada.”
Andalusia adalah “bintang yang jatuh” dari negeri Islam. Penduduknya, yang beragama Islam, mengalami beribu duka karena kebencian, penindasan, dan pemaksaan oleh pihak gereja untuk memeluk agama Kristen. Luka yang dialaminya terasa semakin perih ketika mereka dikhianati oleh saudaranya sesama muslim yang lebih memilih bergabung dengan musuh untuk menyerang mereka daripada memberikan bantuan.
Menurut Washington Irving dalam bukunya, Al-Hamra, penyebab kemunduran umat Islam di Andalusia bukan karena kehebatan dan kekuatan tentara Salib, seperti banyak disimpulkan oleh sejarawan, tetapi karena pertikaian internal. Dan sayang, istana yang begitu megah di sana itu tak lagi diurus, bahkan sempat dijarah dan dihancurkan, termasuk Perpustakaan Cordova, yang menyimpan banyak dokumen penting bagi ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pun sebagian umat Islam menganggap umat Islam di Andalusia telah musnah. Padahal, realitas menunjukkan bahwa umat Islam di Andalusia tetap eksis hingga saat ini.
Tanggal 2 Januari 1492 itu tercatat sebagai pemurtadan besar-besaran yang pernah terjadi dalam sejarah. Baik Cordova maupun Granada hancur lebur bersama kitab-kitabnya berikut peradabannya. Tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
Akibat Pertikaian Internal
Mengenai jatuhnya Granada, yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan, M. Hashem dalam bukunya, Kekaguman Dunia terhadap Islam, menukil komentar ilmuwan Emmanuel Deutch, “Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan air mata manakala kami teringat saat-saat terakhir jatuhnya Granada.”
Andalusia adalah “bintang yang jatuh” dari negeri Islam. Penduduknya, yang beragama Islam, mengalami beribu duka karena kebencian, penindasan, dan pemaksaan oleh pihak gereja untuk memeluk agama Kristen. Luka yang dialaminya terasa semakin perih ketika mereka dikhianati oleh saudaranya sesama muslim yang lebih memilih bergabung dengan musuh untuk menyerang mereka daripada memberikan bantuan.
Menurut Washington Irving dalam bukunya, Al-Hamra, penyebab kemunduran umat Islam di Andalusia bukan karena kehebatan dan kekuatan tentara Salib, seperti banyak disimpulkan oleh sejarawan, tetapi karena pertikaian internal. Dan sayang, istana yang begitu megah di sana itu tak lagi diurus, bahkan sempat dijarah dan dihancurkan, termasuk Perpustakaan Cordova, yang menyimpan banyak dokumen penting bagi ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pun sebagian umat Islam menganggap umat Islam di Andalusia telah musnah. Padahal, realitas menunjukkan bahwa umat Islam di Andalusia tetap eksis hingga saat ini.