Dia adalah seorang laki-laki berkulit hitam. Ada yang menyebut dari puak Sudan, bernama Lukman. Dia yang hidup di zaman Nabi Su’aib dan Nabi Musa, bukanlah seorang berpangkat atau memiliki darah biru. Justru Lukman hanyalah jongos orang kaya raya.
Meski statusnya rendah menurut ukuran umum, tetapi pribadinya tidak setara dengan jongos ukuran umum atau pun Abu Nawas si tokoh kocak dan klangenannya Sultan Harun Al Rasyid. Dia dijuluki Al Hakim karena pengalaman kejongosannya telah memberikan pengalaman batin untuk mampu menghayati batas ma’ruf dan munkar. Ibarat orang yang tengah berjalan, Si Hitam Lukman telah arif atas apa yang kelak akan terjadi pada akhir perjalanannya itu.
Pada suatu hari majikan Lukman menyuruhnya menyembelih seekor kambing untuk suatu perhelatan, dengan berpesan agar dipilih dua bagian daging kambing yang paling besar khasiatnya. Lukman memilih lidah dan hati kambing sesuai pesan majikan.
Sebulan kemudian Lukman diminta memotong kambing untuk menjamu sanak family sang majikan. Kali ini pesanannya rada aneh :”Sediakan dua potong daging kambing, yang paling menjijikkan.” Tanpa ragu, usai menguliti, Lukman tetap menyediakan lidah dan hati kambing.
Apa maknanya? Sang jongos hitam itu dengan tersenyum dan suara kalem, dia menjawab :”Hati dan lidah adalah bagian penting manusia. Apabila manusia mampu memelihara, besar khasiatnya. Apabila sebaliknya, sungguh menjijikkan dan merendahkan martabat manusia.”
Tidak berapa lama kemudian Lukman berumah tangga. Tak dikisahkan apakah istrinya cantik seperti Zulaiha, bijaksana seperti Khatidjah ataukah tangkas seperti Aisyah. Kedudukannya sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya semakin memperkokoh kedudukan Al Hakim dan nyaris berkepribadian aulia. Dari mulutnya meluncur kalimat-kalimat hikmat : tentang moral manusia sebagai individu, warga masyarakat dan bagian dari sebuah lingkungan kehidupan.
Ketika anaknya beranjak remaja, Lukman, sambil mengusap kepala si buah hati, berujar : “Wahai Anakku. Butir kata yang menjadikan orang miskin, seperti kita ini dimuliakan seperti raja.”. – Ia berhenti sejenak, memandang wajah anaknya, menggandengnya duduk dan berucap lagi :”Hai anakku, jika engkau masuk ke suatu majlis, ucapkanlah salam kemudian duduklah agak ke tepi dan janganlah berceloteh. Kalau majlis itu membicarakan soal ingat akan Allah, duduklah agak lama. Tetapi kalau majlis itu tidak menambah iman dan wawasanmu, tidak perlu engkau campur bicara. Dengan sopan, tinggalkanlah majelis itu dan pergilah ke tempat lain.”
Ketika anaknya menjelang dewasa, Lukman Si Miskin itu tak mampu membekali modal harta benda kecuali tujuh kalimat yang ia wasiatkan dan diabadikan Allah dalam Al Qur’an dengan nama surah yang diambil dari namanya sendiri: Luqman. Allah Akbar.
1. Wahai anakku, Janganlah engkau mempersekutukan Allah, itu adalah aniaya paling besar.
2. Ibu-ibu mengandung benih manusia, dengan susah payah dan memeliharanya dua tahun, berterima kasihlah kepada Allah, dan dua orang tuamu.
3. Apabila keduanya memaksamu, memilih Tuhan selain Allah, tolaklah dengan halus, namun jangan mengurangi baktimu kepadanya.
4. Perbuatan baik ibarat tersimpan dalam batu atau lapisan teratas langit atau lapisan terbawah bumi, Allah tahu jua.
5. Wahai anakku, dirikanlah sembahyang, suruhlah manusia berbuat ma’ruf, cegahlah berbuat mungkar dan bersabarlah.
6. Jangan Engkau membuang muka terhadap manusia, janganlah congkak ketika Engkau berjalan
7. Berjalanlah dengan wajar, bersuaralah dengan halus. Seburuk-buruknya suara adalah suara keledai.
Lukmanul Hakim, Si Hitam Manis dan Si Miskin yang hidup sekian ribu tahun SM telah menawarkan kekayaan hidup untuk kekayaan hidup sekian ribu tahun yang akan datang. Ia adalah suri tauladan seorang ‘abid yang tahu betul untuk apa ia hidup. Lukmanul Hakim identik dengan moral. Lukmanul Hakim adalah moral Islam dan moral manusia.
Meski statusnya rendah menurut ukuran umum, tetapi pribadinya tidak setara dengan jongos ukuran umum atau pun Abu Nawas si tokoh kocak dan klangenannya Sultan Harun Al Rasyid. Dia dijuluki Al Hakim karena pengalaman kejongosannya telah memberikan pengalaman batin untuk mampu menghayati batas ma’ruf dan munkar. Ibarat orang yang tengah berjalan, Si Hitam Lukman telah arif atas apa yang kelak akan terjadi pada akhir perjalanannya itu.
Pada suatu hari majikan Lukman menyuruhnya menyembelih seekor kambing untuk suatu perhelatan, dengan berpesan agar dipilih dua bagian daging kambing yang paling besar khasiatnya. Lukman memilih lidah dan hati kambing sesuai pesan majikan.
Sebulan kemudian Lukman diminta memotong kambing untuk menjamu sanak family sang majikan. Kali ini pesanannya rada aneh :”Sediakan dua potong daging kambing, yang paling menjijikkan.” Tanpa ragu, usai menguliti, Lukman tetap menyediakan lidah dan hati kambing.
Apa maknanya? Sang jongos hitam itu dengan tersenyum dan suara kalem, dia menjawab :”Hati dan lidah adalah bagian penting manusia. Apabila manusia mampu memelihara, besar khasiatnya. Apabila sebaliknya, sungguh menjijikkan dan merendahkan martabat manusia.”
Tidak berapa lama kemudian Lukman berumah tangga. Tak dikisahkan apakah istrinya cantik seperti Zulaiha, bijaksana seperti Khatidjah ataukah tangkas seperti Aisyah. Kedudukannya sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya semakin memperkokoh kedudukan Al Hakim dan nyaris berkepribadian aulia. Dari mulutnya meluncur kalimat-kalimat hikmat : tentang moral manusia sebagai individu, warga masyarakat dan bagian dari sebuah lingkungan kehidupan.
Ketika anaknya beranjak remaja, Lukman, sambil mengusap kepala si buah hati, berujar : “Wahai Anakku. Butir kata yang menjadikan orang miskin, seperti kita ini dimuliakan seperti raja.”. – Ia berhenti sejenak, memandang wajah anaknya, menggandengnya duduk dan berucap lagi :”Hai anakku, jika engkau masuk ke suatu majlis, ucapkanlah salam kemudian duduklah agak ke tepi dan janganlah berceloteh. Kalau majlis itu membicarakan soal ingat akan Allah, duduklah agak lama. Tetapi kalau majlis itu tidak menambah iman dan wawasanmu, tidak perlu engkau campur bicara. Dengan sopan, tinggalkanlah majelis itu dan pergilah ke tempat lain.”
Ketika anaknya menjelang dewasa, Lukman Si Miskin itu tak mampu membekali modal harta benda kecuali tujuh kalimat yang ia wasiatkan dan diabadikan Allah dalam Al Qur’an dengan nama surah yang diambil dari namanya sendiri: Luqman. Allah Akbar.
1. Wahai anakku, Janganlah engkau mempersekutukan Allah, itu adalah aniaya paling besar.
2. Ibu-ibu mengandung benih manusia, dengan susah payah dan memeliharanya dua tahun, berterima kasihlah kepada Allah, dan dua orang tuamu.
3. Apabila keduanya memaksamu, memilih Tuhan selain Allah, tolaklah dengan halus, namun jangan mengurangi baktimu kepadanya.
4. Perbuatan baik ibarat tersimpan dalam batu atau lapisan teratas langit atau lapisan terbawah bumi, Allah tahu jua.
5. Wahai anakku, dirikanlah sembahyang, suruhlah manusia berbuat ma’ruf, cegahlah berbuat mungkar dan bersabarlah.
6. Jangan Engkau membuang muka terhadap manusia, janganlah congkak ketika Engkau berjalan
7. Berjalanlah dengan wajar, bersuaralah dengan halus. Seburuk-buruknya suara adalah suara keledai.
Lukmanul Hakim, Si Hitam Manis dan Si Miskin yang hidup sekian ribu tahun SM telah menawarkan kekayaan hidup untuk kekayaan hidup sekian ribu tahun yang akan datang. Ia adalah suri tauladan seorang ‘abid yang tahu betul untuk apa ia hidup. Lukmanul Hakim identik dengan moral. Lukmanul Hakim adalah moral Islam dan moral manusia.