Rabi’ah al Adawiah. Kita tak asing lagi dengan wanita ini, tentunya. Dia adalah seorang penyair sufi wanita dari Basrah yang begitu sangat cintanya kepada Allah. Syairnya yang sangat terkenal adalah dialognya kepada Allah .
“Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Rabi’ah adalah contoh seorang hamba dengan totalitas penyerahan yang bulat kepada sang Khalik, penciptanya. Segenap geraknya, tarikan nafasnya merupakan gambaran penyerahan itu. Ia berkata dalam sajaknya:
Ketika kudengar suara azan Yang kudengar hanyalah panggilan kiamat Ketika kulihat salju Yang kuingat ialah bulu beterbangan Ketika kulihat belalang Yang teringat hanyalah hari perhitungan
Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sholatnya:
“Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Ia meninggal pada tahun 135 Hijriah dalam usia 80 tahun. Semoga Allah membalas cintanya dengan cinta Allah sang pemilik cinta yang sebenarnya. Sebuah cerita tentang mimpi seorang Rabi’ah. Mudah-mudahan menjadi sumber inspirasi bagi kita….Amien.
Seusai Mimpi Itu, Rabiah Selalu Terjaga
Oleh : Rasyan Ridha
Suatu kali dalam masa-masa keudzurannya, Rabi’ah Al Adawiyyah, seorang sufi kenamaan tak lagi kuat berlama-lama melaksanakan shalat tahajjud. Adakalanya iapun melewatkan shalat malam karena keudzurannya. Demi mengganti pahala shalat malamnya, ia menamatkan satu juz Qur’an sebelum tidur. Karena, menurut hemat Rabi’ah, pahala membaca satu juz Al Qur’an sama dengan melakukan shalat sepanjang malam.
Lama Rabi’ah melaksanakan kebiasaan itu. Sampai suatu malam, Rabi’ah bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, ia seolah-olah berada diantara taman yang luas, teramat luas, dengan pepohonan hijau yang asri tumbuh disekelilingnya. Diatas tanah yang subur itu, Rabi’ah menyaksikan, sebuah Istana megah berdiri diantara hamparan hijau dan bunga-bunga aneka warna.
Ketika ia sedang asyik menikmati pemandangan sekitar, tiba-tiba Rabi’ah melihat seorang anak kecil tengah mengejar burung hijau yang terbang diatas kepala, sambil berteriak-teriak alangkah gembiranya.Rabi’ah lalu menegur anak itu, “Untuk apa engkau tangkap burung itu? Demi Allah, aku belum pernah melihat burung secantik itu. Biarkan ia terbang kemana ia suka.”
“Ya. Benar juga kata-kata ibu,”jawab gadis cilik itu.
Gadis cilik itu lalu datang menghampiri Rabi’ah dan menggamit tangannya. Penuh keceriaan, Rabi’ah dan gadis cilik itu berjalan mengitari halaman, sehingga mereka sampai di pintu istana yang alangkah megah, kukuh dan cantiknya. Sambil mengetuk pintu, anak itu berkata: “Tolong bukakan pintu untuk kami!”
Pintu istana itu lalu terkuak lebar. Dari dalam pintu itu terpancar cahaya yang amat terang, sehingga menerangi sekeliling kami.
“Masuklah, Bu. Mari ikut sini.” Anak itu menggamit lengan Rabi’ah, dan Rabi’ahpun mengikuti gadis cilik itu.
Benar dugaan Rabi’ah, dalam istana itu disaksikannya benda-benda serba indah, dengan bangunan dan tempat-tempat cengkerama yang begitu tertata, mewah dan asri.
Bersama anak itu, Rabi’ah kembali mengelilingi ruangan istana dan tak habis-habis dari mengaguminya. Sedang asyiknya Rabi’ah mengamati keadaan sekeliling, dengan tiba-tiba pintu yang menjurus kearah taman terbuka. Lagi-lagi gadis kecil itu mengajaknya, untuk kembali berhandai-handai di keluasan taman istana.
Dalam kursi-kursi berukir emas yang tersedia didalam taman, tampak para pelayan yang wajahnya cantik mempesona, tak ada bandingannya diantara wanita yang tinggal di muka bumi. Mereka cantik seperti mutiara berseri-seri, seperti hendak bepergian, sedang di tangan mereka tergenggam berbotol-botol wewangian.
Gadis kecil itu bertanya kepada mereka, “Bibi-bibi ini hendak pergi ke mana?”
Salah seorang dari pelayan istana itu menjawab : “Kami hendak pergi menemui seseorang yang terbunuh dalam pertempuran laut. Orang itu telah mati dalam keadaan syahid.
Anak itu lalu bertanya lagi : “Tidakkah kalian ingin memberi wewangian kepada perempuan ini?”,seraya menunjuk ke arah Rabi’ah.
“Ia sudah mendapat wewangian, tetapi ia sendiri yang tidak mau memakainya,” ujar pelayan istana bermata jeli yang sudah bersiap-siap untuk pergi.
Sejurus kemudian gadis kecil itu melepaskan genggaman tangannya dari Rabi’ah. Dan seketika itu, Rabi’ahpun terjaga dari tidur malamnya.
Sambil menopang tubuh rentanya, kulit tipisnya yang sudah tak kuat menahan dingin malam itu, Rabi’ah pergi mengambil air wudlu.
Berkali-kali Rabi’ah melafadzkan istighfar dan kemudian menunaikan shalat malam dalam suasana hati penuh sesal dan haru. Hingga akhir hayatnya Rabi’ah Al Adawiyyah menyesali, bahwasanya ia pernah melalaikan shalat malam. Maka semenjak mimpinya itu Rabi’ahpun selalu terjaga dan beribadah di tengah malam.